RADIOMUARANETWORK –
Jakarta, –
Prof.Komarrudin Hidayat Ketua Dewan Pers dalam kesempatan tersebut menekankan bahwa, “Selama teman-teman menjalankan kerja jurnalistik yang benar, taat aturan, objektif, dan profesional, itu sudah cukup,” jelasnya.
Dewan Pers menegaskan bahwa setiap keberatan terhadap produk jurnalistik, termasuk permintaan takedown berita, wajib diproses melalui Dewan Pers dan tidak bisa dilakukan secara langsung oleh pihak yang merasa dirugikan.
Hal itu disampaikan dalam sesi wawancara bersama sejumlah media, ketika Dewan Pers menjelaskan posisinya dalam lembaga menangani sengketa pemberitaan.
Dewan Pers menekankan bahwa lembaganya tidak memiliki kewenangan maupun kemampuan untuk menilai konflik internal suatu lembaga, namun urusan pemberitaan merupakan domain yang diatur oleh Dewan Pers.
“Semua persoalan yang berkaitan dengan produk jurnalistik harus melalui Dewan Pers. Siapa pun, baik institusi maupun personal, wajib lewat Dewan Pers. Kami yang melakukan mediasi dan analisa,” ujar perwakilan Dewan Pers.

Bila suatu berita terbukti melanggar Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers akan memberikan teguran dan menentukan langkah korektif, mulai dari hak jawab, koreksi, hingga takedown.
“Tidak bisa orang yang keberatan langsung meminta media men-takedown berita. Itu tidak dibenarkan,” tegasnya.
Dewan Pers menilai bahwa banyak kasus keberatan pemberitaan justru dilakukan lewat tekanan langsung—permintaan maaf, takedown, atau intimidasi terhadap redaksi—tanpa melalui mekanisme pengaduan resmi.
“Kalau ada pihak memaksa media melakukan permintaan maaf atau takedown tanpa melalui Dewan Pers, itu justru kami curigai. Ada potensi ‘hengki-pengki’ kalau media langsung mengabulkan permintaan semacam itu,” ujarnya.
Karena itu, Dewan Pers menyarankan media tidak perlu merespons tekanan semacam itu selama belum ada pengaduan resmi yang masuk ke Dewan Pers.
Dalam penjelasannya, Dewan Pers mengacu pada Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) yang mengatur bahwa suatu berita tidak boleh dihapus berdasarkan permintaan pihak luar redaksi, kecuali dalam kasus-kasus khusus seperti: Kekerasan anak, Traumatik dan masa depan anak, Kasus asusila, dan Pertimbangan tertentu yang ditetapkan Dewan Pers.
“Seburuk apa pun karya jurnalistik, selama proses peliputan dilakukan secara profesional, media tidak boleh ditekan untuk menghapus berita. Pengaduan tetap harus diajukan ke Dewan Pers,” jelasnya.
Media juga memiliki kewajiban etik untuk melakukan verifikasi dan memastikan keberimbangan. Jika narasumber tidak merespons, media dapat menuliskan upaya yang sudah dilakukan sebagai bagian dari kerja jurnalistik profesional.
Menurut Dewan Pers, pelanggaran kode etik yang paling sering muncul adalah: Tidak berimbang – pihak terkait tidak dimintai tanggapan.
Selanjutnya, tidak melakukan uji informasi – sekadar menyalin rilis tanpa verifikasi. “Jumpa pers atau rilis hanyalah bahan dasar berita. Untuk jadi berita harus ada uji informasi,” tegas perwakilan Dewan Pers.
Jika kemudian terbukti melanggar, Dewan Pers dapat memerintahkan hak jawab hingga takedown. Namun jika tidak ada pelanggaran, media tidak perlu takut.
Dalam sesi wawancara itu, salah satu anggota Dewan Pers yang juga memiliki pengalaman panjang di dunia pendidikan mengingatkan bahwa persoalan pemberitaan mengenai sengketa sekolah seharusnya ditempatkan sebagai isu yang menyangkut masa depan anak.
“Kerja jurnalistik itu bukan sekadar memproduksi berita. Tujuannya adalah memajukan peradaban. Pendidikan adalah pilar bangsa. Jangan sampai konflik bisnis para pengelola sekolah mengorbankan masa emas pendidikan anak,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa hilangnya masa pendidikan anak tidak dapat diganti, berbeda dengan aset materi seperti mobil atau rumah. Karena itu, ia mendorong penyelesaian sengketa secara lebih beradab dan mengedepankan kepentingan siswa.
Ia juga menyoroti rapuhnya ekosistem sekolah swasta yang sangat bergantung pada kualitas dan kepercayaan orang tua.
“Kalau trust hilang dan murid berkurang, sekolah swasta bisa bangkrut. Tidak mudah membangun sekolah swasta yang dipercaya masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Prof. Effendi Gazali bajwa “Pendidikan Tidak Boleh Menyesatkan Publik”. Menanggapi kasus ini, Prof. Effendi Gazali, akademisi dan pakar komunikasi nasional, menyampaikan keprihatinannya.
“Pendidikan harus dijalankan dengan kejujuran, integritas, dan transparansi. Kita mendidik putra-putri bangsa. Tidak boleh ada penyalahgunaan kewenangan atau manipulasi informasi kepada publik.”
Beliau menambahkan bahwa dunia pendidikan tidak boleh menjadi arena penyimpangan, karena taruhannya adalah masa depan generasi Indonesia.
Seperti diketahui,
PN Jakarta Selatan menegaskan pelanggaran Perjanjian Lisensi oleh PT HighScope Indonesia (sekarang PT RDA Mangunkarsa) dan Yayasan Perintis Pendidikan Belajar Aktif (YPΡΒΑ) dalam putusan no.853/Pdt.G/2024/PN Jkt. Sel.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara No. 853/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Sel membuka tabir panjang persoalan lisensi HighScope di Indonesia.
Sementara itu, Kuasa Hukum YBTA, Chandra Goba SH, Dolan Alwindo Colling SH, Putrawan Duha SH, dan Yuliana Sihaloho SH, menegaskan bahwa penggugat YPPBA, dan PT HighScope Indonesia sekarang PT RDA Mangunkarsa, tidak memiliki legal standing untuk melakukan gugatan kepada para tergugat, sehingga gugatan ini dinyatakan tidak data diterima.
PN Jaksel menegaskan YPPBA tidak memiliki kewenangan memberikan Sublisensi.
Majelis Hakim pun menegaskan bahwa perjanjian HSERF-YPPBA secara tegas melarang pemberian sublisensi kepada pihak manapun sesuai dengan perjanjian National Institute Licence Agreement between HIGHSCOPE EDUCATIONAL RESEARCH FOUNDATION and HIGHSCOPE INDONESIA INSTITUTE yang ditandatangani oleh Dr Alejandra Barraza, President HSERF dan Antarina SF Amir, sebagai Direktur HighScopeU Indonesia Institute dan Ketua Yayasan YPPBA.
“Pemberian kepada PENERIMA LISENSI suatu lisensi ekslusif yang terbatas, tidak dapat dipindahtangankan, tidak dapat disublisensikan, tidak dapat dialihkan, dan dapat ditarik Kembali (Lisensi) untuk menggunakan Kekayaan Intelektual yang terdapat pada lampiran E yang terlampir pada perjanjian ini”.
Dengan demikian, Penerima Lisensi tidak akan mensublisensikan setiap haknya atau mensubkontrakan setiap kewajibannya berdasarkan perjanjian ini, kecuali dengan persetujuan tertulis sebelumnya dari FOUNDATION, yang persetujuannya dapat ditangguhkan dengan alasan apapun dengan diskresi Tunggal dan ekslusif dari Foundation.

Penerima Lisensi mengakui dan menyepakati bahwa setiap agen atau kontraktor Penerima Lisensi disetujui sesuai dengan pasal 5.1.4 ini yang dipekerjakan atau disewa untuk menyediakan layanan di wilayah bukan, baik secara langsung atau tidak langsung, bukan para penerima pengalihan atau para sub penerima lisensi dari Foundation dan bahwa Penerima Lisensi akan sepenuhnya bertanggung jawab atas aktivitas dan pelaksanaannya, dan Penerima Lisensi akan mengupayakan aktivitas dan pelaksanaannya untuk memenuhi dalam seluruh hal terhadap persyaratan Perjanjian ini.
Dalam Perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa HighScope National Institute dilarang mendirikan legal entity yang mencakup atau menggabungkan nama yang identik dengan HighScope:
National Institute, sehubungan dengan persiapannya untuk pelaksanaan Layanan, Pemegang Lisensi harus mendirikan (atau terus mengoperasikan) dibawah badan hukum formal Pemegang Lisensi, sebuah organisasi informal dengan nama dagang atau di wilayah yang dikenal sebagai HIGHSCOPE NATIONAL INSTITUTE (selanjutnya disebut National Institute) atau dengan nama yang serupa lainnya yang disetujui oleh Foundation atas kebijakannya sendiri, untuk melaksanakan layanan di wilayah sesuai dengan perjanjian, syarat dan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian ini.
Pemegang Lisensi, tidak diizinkan atau diberi wewenang untuk mendirikan National Institute sebagai badan hukum atau mendirikan badan hukum lain yang mencakup atau menyertakan Merk Dagang apapun
Namun YPPBA mendirikan PT HighScope Indonesia dan menggunakannya sebagai kendaraan operasional untuk menerima pembayaran. Ini bukan sekadar kesalahan administratif, tapi pelanggaran kontrak level fundamental.
Di persidangan, terkuak fakta lisensi yang diberikan yang tercantum dalam perjanjian EXHIBIT E.
Dengan bukti bukti ini makin memperkuat bahwa YPPBA melanggar aturan lisensi yang sudah ditetapkan HSERF. Dimana Masa Berlaku Lisensi: Menjual Masa yang Tidak Ada.
Dalam perjanjian antara HSERF dan National Institutes, menyatakan bahwa perjanjian berlaku selama 5 tahun sejak Perjanjian ditandatangani pada tanggal 1 Januari 2022, sehingga perjanjian berakhir pada tanggal 31 Desember 2026.
Fakta persidangan menunjukkan bahwa HSERF USA hanya memiliki program kurikulum ECEP (pra-sekolah) dan Tidak memiliki kurikulum untuk tingkat SD, SMP dan SMA. Disamping, syarat Sahnya Perjanjian Tidak Terpenuhi – Kontrak YPPBA: Void ab initio.
Putusan PN Jakarta Selatan membuka gambaran jelas bahwa: YPPBA tidak memiliki kewenangan menjalankan lisensi pendidikan.
Selanjutnya, sublisensi yang mereka jual tidak sah dan Pendirian PT HighScope Indonesia melanggar perjanjian.
Terakhir, operasional sekolah melebihi batas kewenangan, Perjanjian mereka cacat hukum sejak awal, dan narasi publik selama bertahun-tahun ternyata tidak sesuai fakta hukum.




