RADIOMUARANETWORK –
Diskusi bertajuk “Perempuan Hebat di Dunia Film dan Musik” yang digelar dalam rangka menyambut Hari Ibu, 22 Desember 2025, berlangsung hangat dan reflektif di Auditorium Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Kebayoran Baru, Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh FORWAN, Forum Wartawan Hiburan ini menghadirkan tiga narasumber lintas generasi: artis film senior Yessy Gusman, artis film Gen-Z Vinessa Inez, serta akademisi dan Komisioner Lembaga Sensor Film (LSF) Titin Setiawati, S.I.P., M.I.Kom., dengan moderator Ratna Listy.
Diskusi dibuka dengan pembacaan puisi sebagai penanda bahwa seni dan refleksi emosional menjadi fondasi utama perbincangan. Tema perempuan, ibu, dan film kemudian mengalir dalam berbagai perspektif—dari pengalaman lapangan, dunia akademik, hingga tantangan generasi muda.
Yessy Gusman, ikon perfilman Indonesia era 1980–1990-an, menekankan bahwa dunia film tidak semata soal tampil di depan kamera. Menurutnya, industri film membuka ruang luas bagi profesi lain seperti penulis skenario, penata artistik, hingga kru produksi. Ia mengingatkan mahasiswa agar tidak meremehkan peran kecil, karena banyak aktor besar memulai karier sebagai figuran.
“Disiplin, santun, profesional, tepat waktu—itu harga mati di dunia film. Datang terlambat bisa merusak suasana dan membengkakkan biaya produksi,” ujar Jessy. Ia juga berulang kali menegaskan pesan yang menjadi benang merah diskusi: “perempuan jangan mematahkan sayapnya sendiri”, karena kemandirian dan masa depan keluarga sangat ditentukan oleh keberanian perempuan menjaga potensi dirinya.
Yessy juga berbagi perjalanan hidupnya yang tidak sepenuhnya berkutat di dunia film. Selain berakting, ia menempuh pendidikan hingga ke luar negeri, aktif di bidang pendidikan anak usia dini, pemberdayaan perempuan, dan mengajar. Baginya, pendidikan—formal maupun informal—adalah fondasi kemandirian perempuan.
Sementara itu, Vinessa Inez, aktris muda yang mewakili generasi Z, membagikan pengalamannya menghadapi realitas dunia kerja perfilman yang penuh tekanan. Ia menilai profesionalisme dan kesabaran menjadi kunci bertahan di lokasi syuting, termasuk saat harus bekerja dengan orang-orang yang tidak selalu sejalan secara personal.
Dalam diskusi, Vinessa juga memaparkan perannya dalam film Dalam Sujudku yang dijadwalkan tayang awal 2026. Film tersebut mengangkat isu pernikahan jarak jauh, perselingkuhan, dan refleksi keimanan. Tokoh Aisyah yang ia perankan digambarkan sebagai sosok perempuan ideal: sabar, berpendidikan, lembut, dan kuat—“seperti malaikat tak bersayap bagi keluarganya,” ujar Vinessa.
Ia menegaskan bahwa kesabaran tidak datang tiba-tiba, melainkan hasil latihan dan pengalaman hidup. Kepada mahasiswa, Vinessa berpesan agar tidak minder memulai dari peran kecil dan terus memberikan yang terbaik, karena setiap proses akan bermuara pada kesempatan yang lebih besar.
Dalam sesi tanya jawab, Vinessa juga menyinggung isu penting terkait pelecehan terhadap perempuan, baik di ruang digital maupun fisik. Ia mengungkapkan proyek film lain berjudul *Yang Terluka* yang mengangkat keberanian perempuan melawan kekerasan seksual, termasuk dalam relasi rumah tangga. “Tubuh kita adalah hak kita, dan sudah ada hukum yang melindungi itu,” tegasnya.
Pandangan struktural disampaikan oleh Titin Setiawati. Ia menjelaskan bahwa film adalah cermin masyarakat. Jika isu perselingkuhan, ketimpangan gender, atau kekerasan marak di film, itu menunjukkan realitas sosial yang sedang berlangsung. Menurutnya, posisi perempuan dalam film Indonesia memang mengalami kemajuan, meski belum sepenuhnya lepas dari objektifikasi.
“Dulu perempuan sering ditempatkan sebagai warga kelas dua atau sekadar pemanis. Sekarang sudah ada perubahan—lebih banyak sutradara dan penulis skenario perempuan, serta film yang perempuan-sentris,” kata Titin, seraya menyebut karya-karya seperti “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” sebagai contoh pergeseran narasi.
Ia menegaskan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang “ibu ideal”. Setiap perempuan memiliki konteks dan versinya sendiri. Yang terpenting, menurutnya, adalah perempuan memiliki pegangan—pendidikan, keterampilan, dan kemandirian—agar mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Menutup diskusi, Titin mendorong mahasiswa untuk aktif membuka jejaring melalui komunitas sinematografi kampus, magang di rumah produksi, lembaga perfilman, atau institusi seperti LSF dan PFN. Relasi, menurutnya, sering kali lebih menentukan daripada sekadar nilai akademik.
Diskusi ini menegaskan satu pesan kuat menjelang Hari Ibu: perempuan bukan sekadar objek cerita, melainkan subjek yang berdaya—di layar, di rumah, dan di ruang publik.





